KMBali1.com - Ketika kobaran api melahap pos keamanan dan bangunan PT. Sumbawa Timur Mining (STM) di Hu’u, Dompu, pada Jumat, 1 November 2024 lalu, itu bukan sekadar ledakan amarah sesaat. Itu adalah simbol akumulasi kekecewaan warga terhadap sebuah sistem relasi kekuasaan yang timpang antara masyarakat lokal dan korporasi tambang global.
Kami melihat bahwa konflik ini bukan peristiwa tunggal. Ia mencerminkan pola perlakuan yang sistemik, yang juga pernah terjadi—dan masih berlangsung—di Sorowako, Sulawesi Selatan. Dua wilayah yang secara geografis berbeda, tapi secara nasib dipersatukan oleh satu entitas korporasi: Vale S.A, lewat anak-anak usahanya, PT. Vale Indonesia Tbk (PTVI) dan PT. Sumbawa Timur Mining (STM) sebagai pemegang konsesi eksplorasi tambang Emas dan Tembaga seluas 19.000 Hektar di wilayah Kecamatan Hu'u Kabupaten Dompu.
Kriminalisasi Perlawanan dan Hilangnya Rasa Keadilan
Penangkapan seorang warga Marada, Sulaiman alias Coyo, atas tuduhan merusak cermin milik perusahaan, telah memantik amarah kolektif. Bagi warga, kerusakan itu tak sebanding dengan kerusakan ekologis yang mereka alami: hutan menyusut, aliran air mengecil, dan ruang hidup semakin menyempit.
Kami mengingatkan publik bahwa pendekatan serupa telah lama diterapkan Vale di Sorowako. Di sana, warga yang menolak penggusuran dan pembebasan lahan sering kali dibungkam melalui jalur hukum. Laporan Trendasia.org, situs resmi milik Trend Asia, sebuah organisasi masyarakat sipil yang fokus pada transisi energi berkeadilan dan isu lingkungan hidup di Indonesia. mencatat puluhan warga dikriminalisasi, hanya karena mempertahankan tanah leluhurnya.
Ini bukan kebetulan. Ini adalah pola sistemik yang membentang dari Sulawesi ke Sumbawa.
Korporasi Global, Masalah Sosial Lokal
Vale S.A, terutama melalui entitasnya di PT. STM selalu menampilkan wajah modern: pembangunan berkelanjutan, tanggung jawab sosial, investasi hijau. Namun di lapangan, praktiknya sering kali kontras. Ketika warga bersuara, mereka dianggap pengganggu stabilitas investasi. Ketika perusahaan merusak alam, itu dianggap pengorbanan demi pertumbuhan ekonomi.
Kami tidak anti-investasi. Tapi investasi yang mengabaikan legitimasi sosial, yang menutup ruang dialog, dan yang menggunakan aparat hukum untuk membungkam warga, adalah investasi kolonial dalam wujud baru.
Pemerintah pusat maupun daerah seharusnya tidak menjadi pelayan korporasi. Mereka wajib berdiri di tengah, menjadi penjaga keadilan, bukan hanya penjaga kelancaran operasi tambang.
Insiden Hu’u Adalah Alarm
Kami menyatakan bahwa insiden di Hu’u harus menjadi alarm bagi seluruh pemangku kepentingan. Jangan anggap ini sekadar kekerasan massa. Ini adalah pertanda bahwa ada yang salah dalam cara kita memperlakukan masyarakat adat dan komunitas lokal di sekitar tambang.
Warga Kecamatan Hu'u tidak meminta banyak. Mereka hanya ingin dihargai, didengar, dan diperlakukan manusiawi. Tapi ketika bahkan permintaan tokoh-tokoh masyarakat seperti anggota DPRD dan kepala desa diabaikan perusahaan, maka rasa tersinggung adalah hal yang manusiawi. Dan saat rasa itu terus diabaikan, ledakan sosial menjadi keniscayaan.
Kami Menolak Pola Lama Ini Terus Diulang
Kami menyerukan kepada pemerintah dan lembaga pengawas untuk meninjau kembali izin, praktik rekrutmen, dan dampak sosial-psikologis dari aktivitas tambang STM di Hu’u. Kami juga mendorong publik dan media nasional untuk tidak menutup mata terhadap apa yang terjadi di Dompu, karena ini adalah potret kecil dari masalah besar yang bisa terjadi di mana saja.
Hu’u adalah cermin. Dan cermin itu telah pecah. Tapi yang memantul dari pecahannya adalah wajah asli industri tambang kita hari ini. Kita bisa memilih untuk memungut kepingan dan memperbaikinya, atau membiarkannya terus menghancurkan rumah-rumah warga di sekitarnya.(*)
* Pimpinan Redaksi KMBali1.com
Fauzi Akbar
Posting Komentar
Posting Komentar