Dompu, KMBali1.Com —Angin musim kemarau membawa debu tipis ke ladang-ladang kering di Hu’u. Di sanalah, suara kekecewaan masyarakat menggema, bukan hanya karena panas yang mengeringkan tanah, tapi karena harapan yang perlahan layu, dibunuh oleh janji-janji yang tak ditepati tambang.
Di tengah situasi itu, nama PT. Sumbawa Timur Mining (STM) kembali jadi perbincangan. Bukan karena capaian atau kontribusi nyata bagi masyarakat lingkar tambang, tapi karena permintaan warga, izin eksplorasi perusahaan itu, yang akan habis pada 27 Juni 2025, sebaiknya tidak diperpanjang.
“Kalau perusahaan seperti ini terus diberi ruang, mau jadi apa kami ini?,” kata Muhamad, seorang tokoh masyarakat Hu’u, saat ditemui wartawan, Senin (26/5/2025). Wajahnya mengeras, suaranya terbata-bata, lebih karena kecewa ketimbang marah.
Ketika Warga Menjadi Penonton di Tanah Sendiri
Muhamad tak bicara sembarangan. Ada akumulasi kekecewaan yang telah berlangsung bertahun-tahun. Sejak STM hadir dengan membawa nama besar dan narasi kemakmuran, masyarakat Hu’u justru merasa semakin terpinggirkan. Salah satu isu paling krusial adalah pola rekrutmen tenaga kerja yang dinilai tidak berpihak pada warga lokal.
“Orang-orang kami hanya jadi penonton. Yang bekerja justru banyak dari luar. Padahal, ini tanah kami,” ujarnya.
Ketimpangan ini memicu kecemburuan, bahkan ketegangan sosial. Dalam situasi seperti ini, pengangguran meningkat, dan menurut warga, kasus kriminal seperti pencurian ikut melonjak—sebuah efek domino dari eksklusi ekonomi yang tak terhindarkan.
Sebelum tambang masuk, masyarakat Hu’u hidup dari alam. Mereka bertani, beternak, dan berburu madu hutan. Tapi perlahan, semua berubah. Sekitar 19.000 hektare lahan dikuasai perusahaan, dan akses terhadap hutan serta air mulai terbatasi.
Petani kini hanya bisa panen sekali dalam setahun. Padahal dulunya tiga kali. Beternak pun tak semudah dulu. Hutan sebagai tempat penggembalaan telah menjadi zona terbatas. Bahkan, madu liar yang dulunya jadi sumber penghasilan kini nyaris hilang.
“Satu per satu mata pencaharian kami lenyap. Tapi tak ada penjelasan, tak ada ganti rugi. Kami dibiarkan begitu saja,” keluh Muhamad.
Kemarahan warga tidak berhenti di daratan. Mereka juga menuding kegiatan eksplorasi STM telah berdampak ke laut. Teluk Cempi, yang dulu kaya akan ikan dan lobster, kini disebut mulai kehilangan daya dukung ekologisnya.
“Kalau hujan, limbah dari gunung terbawa ke laut. Ikan-ikan pergi. Kami harus melaut sampai ke timur Flores,” kata Muhamad, menggambarkan ironi nelayan yang harus menjauh dari kampung demi sesuap nasi.
Warga juga menyebut tiga kolam besar yang dibangun perusahaan diduga menyimpan material berbahaya. Namun hingga kini, penjelasan STM bukannya membuat terang persoalan tetapi makin membuat warga tambah curiga. Sosialisasi nyaris nihil hasil. Komunikasi antara STM dan masyarakat seakan terputus oleh tembok kecurigaan yang tak berujung.
Kini, masyarakat Hu’u berdiri di persimpangan: apakah akan terus membiarkan tambang berjalan dengan skema yang sama, atau menuntut perubahan? Mereka memilih yang kedua.
“Kami menolak perpanjangan izin eksplorasi. Bukan karena kami anti investasi, tapi karena kami tak sanggup lagi menanggung dampaknya,” tegas Muhamad.
Pemerintah pusat dan provinsi diminta tidak hanya berpikir soal angka dan dokumen, tapi juga tentang kehidupan manusia yang berada di garis depan. Masyarakat menuntut evaluasi menyeluruh, bukan sekadar perpanjangan tanpa pertimbangan.
"Tambang seharusnya menjadi berkah, bukan kutukan. Tapi nyatanya, kami kehilangan lebih banyak daripada yang dijanjikan,” pungkasnya.
Kini, pilihan ada di tangan para pemegang kebijakan. Apakah akan berpihak pada investasi tanpa koreksi, atau pada warga yang suaranya kian nyaring namun nyaris tak didengar?[KM00]
Posting Komentar