Pj. Gubernur NTB, Drs. H. Lalu Gita Ariadi, M. Si, Bersama Bupati Dompu, H. Kader Jaelani tengah diwawancarai sejumlah awak media tentang merosotnya harga jagung. Foto kedua, Son Marhaen tengah orasi dihadapan massa aksi yang tergabung dalam Aliansi Mahasiswa Dan Rakyat Dompu Menggugat, Kamis (18/04) kemarin. 

KM Bali 1, Dompu - Patokan Harga Pembelian Pemerintah (HPP) untuk jagung di wilayah Dompu, NTB, kini menjadi sorotan tajam. Ditetapkan harga jagung pipilan kering sebesar Rp. 4.200 per kilogram oleh Badan Pangan Nasional tahun 2022 dinilai tidak lagi relevan, mengingat kenaikan biaya produksi petani secara drastis meningkat setiap tahunnya.

Ketika masa panen tiba, kekhawatiran para petani terhadap penurunan harga jagung semakin nyata. Meskipun pihak gudang membeli jagung di pertengahan April ini dengan harga yang hampir setara dengan standar HPP, kisaran harga Rp. 3.000 (biji basah) hingga Rp. 4.100 (biji kering) per kilogram justru tidak menguntungkan petani, bahkan merugikan mereka.

Jika merujuk pada sumber data Bapanas yang terupdate disitus https://Badanpangan.go.id. Ketika dicek pada panelharga, rata-rata harga jagung pipilan kering bervariasi. Hanya saja di Provinsi Nusa Tenggara Barat Harga jagung pipilan kering ditingkat produsen pertanggal 19 April 2024 kisaran Rp. 4.270 lebih rendah dibanding Provinsi Bali dengan harga perkilogram sebesar Rp. 6.500. Tapi yang lebih tinggi di Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) harga jagung pipilan kering sebesar Rp. 7.750.

Dimas, salah satu masyarakat yang melakukan aksi protes atas penurunan harga tersebut menegaskan bahwa patokan harga tersebut hanya menimbulkan kekhawatiran dan ketidakadilan bagi petani. Ia mendesak pemerintah daerah untuk memberikan jaminan kesejahteraan kepada petani dan menekan pihak perusahaan untuk membayar jagung kering kadar air (KA-17) dengan harga yang lebih wajar, setidaknya Rp. 6.000 per kilogram.

Jika pihak Gudang menyerap jagung petani di bawa angka tersebut, Ia meminta kepada Bupati Dompu agar hak izin gudang dicabut. "Kami minta kepada Pemerintah daerah Kabupaten Dompu untuk menstabilkan harga jagung sebesar Rp. 6.000 perkilogram," ujarnya, Rabu (17/04) saat aksi demonstrasi di Desa Teka Sire, kemarin. 

Ahmad S. Pd, atau yang akrab disapa Son Marhaen, mengecam sikap pemerintah daerah yang dinilai tidak mendukung petani. Dalam orasinya, ia menuntut kenaikan harga jagung. Tidak hanya itu, ia juga  menyuarakan jeritan petani dengan beban biaya produksi yang semakin meningkat tiap tahun. Seolah-olah kondisi tersebut tidak ada intervensi dari Pemerintah. 

Dari Aksi protes petani terhadap penurunan harga jagung telah menimbulkan gejolak di Dompu, NTB. Demonstrasi digelar kemarin justru berujung bentrok dengan aparat penegak hukum. Meskipun hal itu terjadi tidak menghalangi semangat mereka untuk memperjuangkan hak-hak petani.

"Mestinya Pemerintah membantu petani untuk mengontrol dan mengevaluasi harga jagung yang tengah merosot," orasinya di hadapan massa aksi yang tergabung dalam Aliansi Mahasiswa Dan Rakyat Dompu Menggugat, Kamis (18/04) lalu. 

Sementara Pj. Gubernur NTB, Drs. H. Lalu Gita Ariadi, M. Si, menjawab kritik tersebut dengan menyatakan bahwa Pemprov NTB sedang berkoordinasi dengan Pemerintah Pusat untuk mencari solusi terbaik bagi petani. Namun, belum ada kejelasan terkait usulan untuk merevisi HPP yang diajukan kepada Bapanas.

Kondisi ini menunjukkan bahwa masalah harga jagung di Dompu, NTB, bukan hanya sekadar perdebatan soal ekonomi. Akan tetapi juga mencerminkan ketidakpastian yang dirasakan oleh para petani jagung sebagai mata pencaharian. (As) 

Posting Komentar

 
Top